Minggu, 27 Maret 2011

PERKEMBANGAN GEDUNG PENCAKAR LANGIT DARI MASA KE MASA

Pertumbuhan ekonomi suatu kota dapat dilihat dengan berdirinya gedung-gedung pencakar langit. Bahkan tidak hanya menjadi ukuran pertumbuhan ekonomi saja. Berdirinya gedung-gedung pencakar langit di suatu kota juga dapat menjadi ukuran pertumbuhan sosial dan budaya serta simbol dan gengsi di kota tersebut. Tumbuhnya gedung-gedung pencakar langit merupakan suatu kebutuhan pengadaan ruang aktivitas mengingat lahan yang tersedia terbatas sehingga dibuatlah ruang-ruang vertikal. Selain itu adanya pemusatan kegiatan ekonomi untuk pengembangan pertumbuhan dalam suatu lingkungan sempit atau wilayah distik dengan maksud mempersingkat jarak dan waktu juga memicu pertumbuhan kota secara vertikal.

Teknologi juga berperan dominan dalam lahirnya gedung-gedung pencakar langit. Pasca perang dunia II merupakan revolusi teknologi bahan bangunan di dunia dengan ditemukannya Elevator oleh Elisha Graves Otis pada tahun 1852 dan juga ditemukannya konverter baja oleh Sir Henry Bessemer tahun 1856 yang mampu menekan biaya struktur baja. Baja telah mulai dikenal sebagai konstruksi pada tahun 1830 bahkan telah digunakan sebagai konstruksi jembatan pertama kali pada tahun 1777 pada ?The Ironbridge?, di Coalbrookdale, disungai Severn, Shropshire, Inggris oleh Abraham Darby. Kemudian disusul oleh adanya revolusi arsitektur. Pada sebelum perang dunia II terdapat gaya arsitektur Fungsionalism, Gaya Eklektik, dan Gaya Art-Deco, kemudian pasca perang dunia II terdapat gaya International (Modern) dan gaya Post-Modern. Pengelompokan ini didasarkan atas perubahan yang sangat signifikan baik pada perwajahan arsitektur maupun dalam penerapan teknologi konstruksinya.

Sebelum Perang Dunia II

Periode awal pertumbuhan gedung-gedung tinggi adalah merupakan karya arsitek?arsitek ?Chicago School? seperti ?Home Insurance Building?, di Chicago, Illinois (1885) karya arsitek Le Barron Jenney dengan ketinggian 10 lantai, dianggap sebagai bangunan tinggi pertama didunia walaupun pada tahun 1870 sudah ada bangunan ?The Equitable Building?, New York, setinggi 6 lantai sebagai bangunan pertama yang menggunakan elevator.

Tokoh yang paling menonjol adalah Louise Henry Sullivan dengan karyanya ?Carson Pirie Scott Building? di Chicago, Illinois (1904). Dia dianggap sebagai ?bapak? dari bangunan pencakar langit. Arsitek lulusan dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini terkenal karena menampilkan teknologi baru yaitu penyatuan antara teknologi rangka baja kedalam seni bangunan. Dia sangat peka dalam karya-karyanya terhadap permasalahan sosial, kesempurnaan bentuk dalam arsitektur dan demokrasi arsitektur, prinsip inilah yang dikenal dengan ?Fungsionalism?, hal ini diungkapkan dalam tulisan-tulisan mengenai karya-karyanya tersebut.

Pada awal 1900-an setelah depresi ekonomi, dimulai era baru pembangunan gedung gedung tinggi yaitu terjadi peralihan dari Chicago ke New York. Ada beberapa karya yang menonjol pada periode ini salah satunya adalah ?Flatiron Building?, di New York (1903) karya arsitek Daniel Burnham. Pada periode ini mulai lahir arsitektur gedung tinggi bergaya ?Eklektik? yang merupakan reunifikasi dari gaya ?flamboyant? di Eropa yaitu berupa motif-motif dekorasi bangunan yang berasal dari Medieval, Gothik, dan Renaissance dalam skala yang diperbesar dan menggunakan bahan batu kapur dan terrakota dengan sentuhan Beaux-Art pada penyelesaiannya.
Disini juga terjadi kasus-kasus penjiplakan bentuk bangunan dari bangunan sebelumnya seperti pada ?Metropolitan Life Tower?, di New York, karya arsitek Pierre Le Born dengan ketinggian 213 m yang sangat mirip dengan ?Campavile?, di St. Mark?s Square, Venesia. Hal yang juga banyak terjadi pada bangunan-bangunan di Indonesia saat ini. Penampilan gedung-gedung tinggi di New York banyak dikatakan sebagai ?Monumen Kapitalis?.

Perkembangan selanjutnya, mulai masuknya Arsitektur bergaya ?Art-Deco? dari Eropa yang dibawa oleh orang-orang Amerika yang belajar disana maupun maupun oleh para imigran pasca perang Dunia I terutama para arsitek dan seniman. Pada periode ini arsitek dalam berkarya banyak dibantu oleh seniman yaitu dengan pemanfaatan produk pabrik sebagai selimut bangunan. Dalam berkarya arsitek memulai dengan suatu tema dengan penyelesaian yang rinci mulai dari taman sampai kepada ruang-ruang didalam bangunan. Perkembangan dari bangunan tinggi bergaya Art-Deco ini sangat menonjol di New York. Karya-karya arsitektur Art Deco yang menonjol yaitu yang ada di kawasan Manhattan, New York, diantaranya ?Chrysler Building? karya arsitek William Van Allen (1930) dengan ketinggian 319m.

Pasca Perang Dunia II

Ketika terjadi Perang Dunia II (1940-1950), era pembangunan gedung-gedung tinggi juga terhenti. Selain menghancurkan perekonomian juga membawa perubahan terhadap wajah dunia pada pasca perang tersebut. Penampilan bangunan menjadi lebih sederhana dengan bentuk kubus dengan rangka bangunan yang diselimuti gelas dan miskin ornamen (hampir tidak ada), yang terlihat hanya garis-garis vertikal dan horizontal yang kaku dan oleh Bruno Taut dikatakan sebagai karya gambar anak-anak.

Dimulai dengan bangunan ?Lever House?, karya arsitek Gordon Bunshaft (1952) dan diikuti oleh bangunan terkenal ?Seagram Building?, di New York, karya arsitek Mies Van Der Rohe dan Philip Johnson dengan ketinggian 38 lantai.

Penampilan bangunan dengan bentuk ini mengakibatkan terjadinya persamaan bentuk dan menimpa negara-negara yang baru merdeka sehingga lahirlah karakter kolektif pada kota-kota dinegara berkembang, tak terkecuali dengan Indonesia. Penampilan seperti ini sering disebut sebagai tren 'International style' dengan ungkapan ?Less is More?.

?The International Style? adalah perwujudan dari aliran arsitektur Modern dengan ideology ?Form, Follow, Function?-nya. Tren arsitektur ini telah menjadi rezim arsitektur sampai awal tahun 1980-an, terutama di Amerika Serikat dan negara-negara berkembang lainnya. Gaya seperti ini tidak terlalu mendapat tempat di kota-kota Eropa yang umumnya padalah kota-kota tua yang memiliki sejarah yang panjang mengenai seni dan gaya dalam arsitektur, serta masyarakatnya sangat apresiatif dan memiliki pemahaman mengenai ?histori? kotanya. Sehingga tidak mudah untuk menghancurkan sebuah bangunan dan diganti dengan bangunan baru yang lebih tinggi.

Ini perlu dipelajari oleh masyarakat dan pengambil kebijakan di Indonesia, karena kota-kota di Indonesia juga banyak memiliki sejarah dalam seni dan gaya arsitektur. Bangunan ?Palace of Culture and Science?, di Warsawa, Polandia (1955), karya arsitek Rusia, Lev Rudnyer dengan ketinggian 42 lantai merupakan bangunan pada awal periode ini yang tidak terpengaruh sama sekali oleh ?International Style? tetapi lebih terinspirasi oleh bangunan ?Wringley Building?, di Chicago, karya arsitek Graham, Anderson, Probst and White, yang banyak memakai ornamen dari Renaissance.

Pada awal 1970-an mulai terjadi perlawanan terhadap ?International Style? dengan bangunan yang tidak lagi sekedar berbentuk kubus kaca, tetapi sudah mulai ?ilmu bentuk? bangunan dipakai kembali. Penentangan tersebut dideklarasikan dengan matinya aliran ?Arsitektur modern? di St, Louise, Missouri pada penghancuran gedung ?Pruitt-Igoe Housing?, St. Louise, karya arsitek Minoru Yamasaki pada tanggal 15 juli 1972, maka dimulailah era arsitektur bergaya ?Post-Modern?. Minoru Yamasaki adalah juga arsitek dari gedung World Trade Centre (WTC) setinggi 417 m di New York , tahun 1972, yang hancur pada peristiwa 11 September 2001.

Gaya arsitektur Post-Modern ini benar-benar menonjol pada awal 1980-an dan masih berlangsung sampai sekarang. Gaya ini lahir dari kerinduan akan arsitektur yang lebih humanis dan kembali menghargai sejarah seni bangunan pada zaman sebelum arsitektur modern seperti Medieval, Renaissance, Classic, Barroq yang dalam penampilannya memakai konteks ?kekinian? dan memasukan unsur warna pada selimut bangunan dan terjadi sedikit pembalikan pada tingkat perwajahan dari kaidah-kaidah struktur yang seolah-olah mengolok-olok hukum grafitasi. Pada periode bangunan tinggi bergaya ?Post-modern? ini terdapat beberapa tokoh arsitek dengan bangunan terkenalnya antara lain ?AT&T Building?, di New York (1985) karya arsitek Philip Johnson dengan ketinggian 37 lantai dengan inspirasi Renaissance yang menggunakan granit pinkis pada selimut bangunan. ?Wacker Drive?, di Chicago (1983)karya arsitek William Pederson dari biro arsitek KPF (Kohn, Pederson & Fox) yang merupakan sebuah bangunan yang elegan dipinggir sungai Chicago. Di kawasan ini juga akan dibangun pada tahun 2003 'Chicago Skyscraper' setinggi 78 lantai milik Donald Trump, karya arsitek Adrian Smith.

Saat ini gedung tertinggi di dunia adalah 'Petronas Tower' di Kuala Lumpur, karya arsitek Italia Cesar Pelli. Bangunan ini memiliki luas lantai lebih kurang 2.286.000 m2 dan dapat menampung parkir sebanyak 4.500 mobil, dilengkapi dengan museum minyak, hall musik symphony dan pusat konferensi dengan teknologi multi-media. Dengan ketinggian 450 m bangunan ini sangat gigantik lebih tinggi 7 m dari ?Sears Tower? di Chicago, Amerika (443m) karya arsitek Fazlur Khan selesai dibangun tahun 1974 yang merupakan bangunan tertinggi didunia sebelumnya. ?Petronas Tower? didesain dengan konsep Arsitektur Islam dengan pendekatan pada prinsip geometri dan simbol arsitektur islam pada bentuk dasar tapak bangunan, dan memiliki siluet yang menyerupai menara pada ?Mesjid Sulaymaniye?, di Istambul (Constantinople), Turki, karya arsitek Sinan yang dibangun tahun 1550-1557 pada masa kekaisaran Ottoman. ?Petronas Tower? telah menjadi simbol kota Kula Lumpur bahkan menjadi simbol nasional bagi negara Malaysia.

Bagaimana di Indonesia?

Arsitektur gedung tinggi di Indonesia sebagaimana dengan negara-negara berkembang lainnya yang baru merdeka pada pertengahan abad 20, dimulai pada periode arsitektur ?International Style?. Bangunan tinggi pertama di Indonesia adalah ?Hotel Indonesia?, di Jakarta (1959) karya arsitek Amerika Abel Sorensen dan Wendy Sorensen yang penggunaannya diresmikan tanggal 5 Agustus 1962, serta ?Wisma Nusantara?, di Jakarta, karya arsitek Jepang dengan ketinggian 30 lantai dengan menerapkan teknologi tahan gempa. Kedua bangunan ini sangat kental dengan tren 'International Style' pada penampilannya. Dan berbeda jauh dengan bangunan-bangunan bergaya kolonial yang ada di Jakarta sebelumnya.

Kedua bangunan ini terletak berseberangan pada bundaran air Tugu Selamat Datang (Bundaran HI) dan merupakan titik awal dari perkembangan gedung-gedung tinggi di Indonesia. Dengan dibangunnya Jl. Jend. Sudirman pada awal 1960-an terjadi perkembangan gedung-gedung tinggi pada koridor Jl. Jend. Sudirman dan Jl. M.H. Thamrin pada awal 1970-an. Begitu juga dengan Jl. H.R. Rasuna Said yang dibangun pada tahun 1970-an. Sebagaimana dengan negara-negara berkembang lainnya, pertumbuhan gedung-gedung tinggi yang mendominasi wajah kota dilaksanakan tanpa kendali sehingga bangunan yang hadir kurang memiliki pemahaman terhadap kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya.

Hal ini terus berlangsung dan mencapai puncaknya pada tahun 1989-an dan mendadak terhenti pada pertengahan 1997 karena krisis ekonomi yang masih berlangsung sampai sekarang. Ternyata keberadaan gedung-gedung tinggi terutama di Jakarta, Bandung dan Surabaya sangat berperan dalam mengantarkan kita pada krisis yang berkepanjangan. Sekali lagi membuktikan bahwa arsitektur bisa menjadi ukuran kemakmuran suatu negara dan juga bisa sebagai pencetus krisis ekonomi, ini telah dialami Oleh Amerika Serikat pada tahun 1920-an dan juga beberapa negara di Amerika Latin. Dan kita tengah mengalami dan merasakannya saat ini.

 (Di olah dari artikel Krisen S. Emha, Arsitek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar